MAPCLUB

Sabtu, 30 Juni 2018

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 49 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGALOKASIAN, PENYALURAN, PENGGUNAAN, PEMANTAUAN DAN EVALUASI DANA DESA


Rincian Dana Desa setiap kabupaten/kota dialokasikan secara merata dan berkeadilan berdasarkan:
a.    Alokasi Dasar; dan
b.    Alokasi Formula.

Pengalokasian Dana Desa setiap kabupaten/kota dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Dana Desa Kab/Kota = Alokasi Dasar kab/kota + Alokasi Formula kab/kota. Besaran Alokasi Dasar setiap kabupaten/kota dihitung dengan cara mengalikan Alokasi Dasar dengan jumlah Desa di kabupaten/kota.
Besaran Alokasi Formula setiap kabupaten/kota, yang besarannya 10% (sepuluh persen) dari anggaran Dana Desa dihitung dengan bobot sebagai berikut:
a.    25% (dua puluh lima persen) untuk jumlah penduduk;
b.    35% (tiga puluh lima persen) untuk angka kemiskinan;
c.    10% (sepuluh persen) untuk luas wilayah; dan
a.    30% (tiga puluh persen) untuk tingkat kesulitan geografis.

Dalam rangka penyaluran Dana D esa, Menteri selaku PA Bendahara Umum Negara menetapkan Direktur Pembiayaan dan Transfer Non Dana Perimbangan sebagai KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan. KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan menyusun DIPA Dana Desa berdasarkan rincian Dana Desa setiap kabupaten/kota. KPA BUN Transfer Non Dana Perimbangan menyampaikan DIPA Dana Desa kepada Direktorat Jenderal Anggaran untuk mendapat pengesahan.
Penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari Dana Desa diutamakan dilakukan secara swakelola dengan menggunakan sumber daya/ bahan baku lokal, dan diupayakan dengan lebih banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat Desa setempat. Kepala Desa bertanggung jawab atas penggunaan Dana Desa. Kepala desa menyampaikan laporan realisasi penggunaan Dana Desa setiap tahap kepada Bupati/Walikota.
Laporan realisasi penggunaan Dana Desa terdiri atas:
a.    Laporan realisasi penggunaan Dana Desa tahun anggaran sebelumnya
b.    Laporan realisasi penggunaan Dana Desa tahap I.
            Menteri Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan bersama dengan Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi melakukan pemantauan atas pengalokasian, penyaluran, dan penggunaan Dana Desa. Pemantauan dilakukan terhadap:
a.    penerbitan peraturan bupati/ walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan besaran Dana Desa;
b.    penyaluran Dana Desa dari RKUD ke RKD ;
c.    penyampaian laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi penggunaan Dana Desa; dan
d.    Sisa Dana Desa di RKUD.

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 66 TAHUN 2007 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA


Perencanaan pembangunan desa adalah kerangka anggaran pembangunan yang diselenggarakan secara terus menerus dalam ruang lingkup desa dalam rangka mewujudkan desa yang maju, sejahtera serta efektif dan efisien. Adapun beberapa rencana pembangunan desa menurut Permendagri No 66 Tahun 2007  terbagi menjadi tiga, yaitu ; 1) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) ;2) Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa) ;3) Daftar Usulan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (DU-RKP Desa).
RPJM Desa adalah dokumen perencanaan 5 tahun yang memuat arah kebijakan pembangunan desa, arah kebijakan keuangan desa, kebijakan umum, program SKPD, Lintas SKPD, dan program prioritas kewilayahan, disertai dengan rencana kerja. RKP Desa adalah dokumen perencanaan untuk periode 1 tahun merupakan penjabaran dari RPJM Desa  yang memuat kerangka ekonomi desa, dengan mempertimbangkan kerangka pendanaan yang dimutahirkan, program prioritas pembangunan desa. DU-RKP Desa adalah daftar usulan kegiatan pembangunan desa yang menggunakan dana yang sudah jelas sumbernya seperti APBN, APBD, APBD Des, swadaya dan kerjasama pihak ketiga.
Pembentukan RPJM Desa, RKP Desa dan DU-RKP desa bertujuan untuk :
1.    Mewujudkan perencanaan pembangunan desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan keadaan setempat.
2.    Menciptakan rasa memiliki dan tanggungjawab masyarakat terhadap program pembangunan di desa.
3.    Memelihara dan mengembangkan hasil-hasil pembangunan di desa.
4.    Menumbuhkembangkan dan mendorong peran serta masyarakat dalam pembangunan di desa.
5.    Menyiapkan Daftar Usulan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (DU-RKP-Desa) tahunan yang sifatnya baru, Rehab maupun lanjutan kegiatan pembangunan untuk dilaporkan kepada Bupati/Walikota melalui camat sebagai bahan dasar RKP Daerah Kabupaten
6.    Menyiapkan DU-RKP-Desa tahunan untuk dianggarkan dalam APB Desa, APBD Kabupaten/Kota, APBD Provinsi, APBN, pihak ketiga maupun swadaya masyarakat.
Dalam penyusunannya kepala desa bertanggung jawab penuh atas penyusunannya yang dilakukan melalui musyawarah atau musrenbang desa yang bekerjasama dengan tokoh masyarakat, RT/RW, kepala dusun/kampung dan instansi terkait. PERMENDAGRI No 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa menyatakan bahwa “pengertian Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa yang selanjutnya disebut MUSRENBANGDES adalah forum musyawarah tahunan yang dilaksanakan secara partisipatif oleh para pemangku kepentingan desa (pihak yang berkepentingan untuk mengatasi permasalah desa dan pihak yang akan terkena dampak hasil musywarah) untuk menyepkati rencana kegiatan di desa 5 (lima) dan 1 (satu) tahunan. Musrenbangdes berfungsi sebagai wadah untuk menselaraskan kesepakatan antar para pelaku, baik pemerintah, masyarakat maupun swasta tentang rencana kerja tahunan di masing-masing desa. Musrenbang juga digunakan untuk menjabarkan rencana jangka panjang menjadi kegiatan anggaran tahunan.

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

Pembentukan desa bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat  terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Pembentukan Desa harus memenuhi syarat :
  1. a.    jumlah penduduk,:
  2. b.    luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan pembinaan masyarakat;
  3. c.    wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun;
  4. d.    sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan kehidupan bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat;
  5. e.    potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia;
  6. f.     batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan dengan peraturan daerah; dan
  7. g.    sarana dan prasarana yaitu tersedianya potensi infrastruktur pemerintahan desa dan perhubungan.

Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal usul desa, adat istiadat dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Penggabungan atau Penghapusan Desa karena Desa yang karena perkembangan tidak lagi memenuhi syarat dapat digabung dengan Desa lain atau dihapus. Terlebih dahulu dimusyawarahkan oleh Pemerintah Desa dan BPD dengan masyarakat desa masing-masing.ditetapkan dalam Keputusan Bersama Kepala Desa yang bersangkutan.disampaikan olehsalah satu Kepala Desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat. Hasil penggabungan atau penghapusan desa sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi Kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa bersama BPD dengan memperhatikan aspirasi masyarakat setempat. Aspirasi masyarakat disetujui paling sedikit 2/3 (dua per tiga) penduduk Desa yang mempunyai hak pilih. Perubahan status Desa menjadi Kelurahan harus memenuhi syarat: luas wilayah tidak berubah; jumlah penduduk; prasarana dan sarana pemerintahan yang memadai bagi terselenggaranya pemerintahan Kelurahan; potensi ekonomi berupa jenis, jumlah usaha jasa dan produksi serta keanekaragaman mata pencaharian; ondisi sosial budaya masyarakat berupa keanekaragaman status penduduk dan perubahan nilai agraris ke jasa dan industri; dan meningkatnya volume pelayanan.

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA


Penegasan batas desa diwujudkan melalui tahapan penentuan dokumen penetapan batas, pelacakan garis batas, pemasangan pilar di sepanjang garis batas, pengukuran dan penentuan posisi pilar batas, serta pembuatan peta garis batas dengan koridor tertentu.
Untuk menentukan batas desa di Kabupaten/Kota, dibentuk Tim Penetapan dan Penegasan Batas desa yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati/walikota. Wajib berkoodinasi dengan Tim Penegasan Batas Daerah Kabupaten/Kota. Keanggotaan Tim Penetapan dan Penegasan Batas desa terdiri dari unsur instansi teknis terkait ditambah dengan unsur yang berasal dari:
a.    Kecamatan;
b.    Pemerintahan Desa; dan
c.    Tokoh masyarakat dari desa-desa yang berbatasan.
Unsur instansi teknis terkait antara lain yaitu:
a.    Unit Tata Pemerintahan;
b.    Bappeda;
c.    Kantor Pertanahan.
d.    Kantor Pajak Bumi dan Bangunan;
e.    Dinas Pekerjaan Umum;
f.     Dinas Tata Ruang;
g.    Dinas Tata Kota: dan
h.    dan lain-lain.
Tim Penetapan dan Penegasan Batas desa mempunyai tugas:
a.    menginventarisasi dasar hukum tertulis maupun sumber hukum lainnya yang berkaitan dengan batas desa;
b.    melakukan pengkajian terhadap dasar hukum tertulis maupun sumber hukum lain untuk menentukan garis batas sementara di atas peta;
c.    merencanakan dan melaksanakan penetapan dan penegasan batas desa;
d.    melakukan supervisi teknis/lapangan dalam penegasan batas desa;
e.    melaksanakan sosialisasi Penetapan dan Penegasan Batas desa;
f.     mengusulkan dukungan dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota untuk pelaksanaan penetapan dan penegasan batas desa: dan
g.    melaporkan semua kegiatan penetapan dan penegasan batas desa kepada Bupati/walikota dengan tembusan kepada Gubernur.
Perselisihan batas desa antar desa dalam satu kecamatan diselesaikan secara musyawarah yang difasilitasi oleh Camat. Perselisihan batas desa antar desa pada kecamatan yang berbeda diselesaikan secara musyawarah yang difasihtasi oleh unsur Pemerintah Kabupaten/Kota. Apabila upaya musyawarah tidak tercapai, penyelesaian perselisihan ditetapkan oleh BupatilWalikota dan keputusannya bersifat final.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA


Pemerintah akhirnya menerbitkan peraturan pelaksanaan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa.  Peraturan Pemerintah Pemerintah no. 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU no. 6/2014 tentang Desa ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 30 Mei 2014. 

Peraturan Pemerintah Pemerintah Nomor. 43 Tahun 2014 yang terdiri dari XIII Bab dan 159 Pasal antara lain memuat :
Kewenangan Desa yang meliputi :
1.    Kewenangan Desa meliputi:
a.    kewenangan berdasarkan hak asal usul;
b.    kewenangan lokal berskala Desa;
c.    kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau  pemerintah daerah kabupaten/kota; dan
d.    kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.    Gaji Kepala Desa dan Perangkat Desa
a.    Penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat Desa dianggarkan dalam APB Desa yang bersumber dari ADD.
b.    Bupati/walikota menetapkan besaran penghasilan tetap:
3.    kepala Desa;
a.    sekretaris Desa paling sedikit 70% (tujuh puluh perseratus) dari penghasilan tetap kepala Desa per bulan; dan
b.    perangkat Desa selain sekretaris Desa paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari penghasilan tetap kepala Desa per bulan.
4.    Keuangan Desa yang meliputi :
Pemerintah mengalokasikan Dana Desa dalam anggaran pendapatan dan belanja negara setiap tahun anggaran yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pemerintah daerah kabupaten/kota mengalokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota ADD setiap tahun anggaran, paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah setelah dikurangi dana alokasi khusus.
Pengalokasian ADD untuk penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat Desa menggunakan penghitungan sebagai berikut:
a.    ADD yang berjumlah kurang dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) digunakan maksimal 60% (enam puluh perseratus);
b.    ADD yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah) digunakan maksimal 50% (lima puluh perseratus);
c.    ADD yang berjumlah lebih dari Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah) sampai dengan Rp900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah) digunakan maksimal 40% (empat puluh perseratus); dan
d.    ADD yang berjumlah lebih dari Rp900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah) digunakan maksimal 30% (tiga puluh perseratus).
Pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota kepada Desa paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari realisasi penerimaan hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota. Pengalokasian bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah dilakukan berdasarkan ketentuan:
a.    60% (enam puluh perseratus) dibagi secara merata kepada seluruh Desa; dan
b.    40% (empat puluh perseratus) dibagi secara proporsional realisasi penerimaan hasil pajak dan retribusi dari Desa masing-masing. 
Belanja Desa yang ditetapkan dalam APB Desa digunakan dengan ketentuan:
a.    paling sedikit 70% (tujuh puluh perseratus) dari jumlah anggaran belanja Desa digunakan untuk mendanai penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; dan
b.    paling banyak 30% (tiga puluh perseratus) dari jumlah anggaran belanja Desa digunakan untuk:
1. penghasilan tetap dan tunjangan kepala Desa dan perangkat Desa; 


Peraturan Pemerintah ini dibentuk sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH


Penyelenggaraan pemerintahan daerah memasuki era baru ketika UU no 32 tahun 2004 digantikan dengan UU no 23 tahun 2014. Era baru penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat kita lihat dari perbedaan yuridis maupun filosofis. Perbedaan yuridis tertuang dalam bentuk pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam UU sebelumnya. Sedangkan perbedaan filosofis terlihat dari makna dan orientasi yang secara tersurat terkandung dalam pasal-pasal yang sebelumnya tak diatur dalam UU sebelumnya.
           
Perbedaan secara yuridis, sangat terlihat dengan tidak adanya pasal-pasal yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Perihal pemilihan daerah telah diatur dalam UU no 22 tahun 2014. Adapun alasan utama yang tecantum dalam naskah akademik RUU Pilkada dimaksudkan untuk agar UU baik tentang Pemda maupu Pilkada dapat berjalan secara maksimal sesuai dengan isu sentralnya masing-masing. Selain itu, dalam pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pilkada dimaksudkan untuk mempertegas posisi dan perbedaan Gubernur dan Walikota/Bupati.
Hal ini dikarenakan Gubernur yang dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung. Namun, secara sepihak dikooptasi dengan menempatkan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Dalam perspektif akademis posisi Gubernur dapat dikategorikan sebagai “unit antara”. Ciri khas dari “unit antara” dalam penyelenggaraan pemerintahannya bersinggungan dengan kegiatan dekonsentrasi daripada desentralisasi. Dengan demikian, Gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat, kewewenangannya “terkebiri” karena status gandanya yang juga sebagai wakil pemerintah pusat. Berbeda dengan Walikota dan Bupati yang sama-sama dipilih oleh rakyat tapi statusnya sebagai daerah otonom yang mengedepankan prinsip atau azas desentralisasi. Disinilah urgensi pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemilihan pilkada mejadi dua UU yang berbeda.

UNDANG-UNDANG 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) menggantikan Undang-undang yang berkaitan dengan kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah yang dicanangkan pemerintahan baru di era reformasi ini, yaitu UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999 dengan judul yang sama. Sejak disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 18 Oktober 2004, maka Undang-undang ini berlaku efektif. UU yang lazim disebut UU Pemda ini memiliki jumlah pasal yang lebih banyak dari UU sebelumnya, yaitu memuat 240 pasal, lebih banyak dibanding pendahulunya yang hanya 134 pasal.

Perbedaan demikian terkait erat dengan konsekuensi pasal 3 UUD 1945 hasil perubahan kedua pada tahun 2000. Yaitu pasal 18, pasal 18A dan pasal 18B yang menggantikan pasal 18. Dalam amendemen UUD 1945, dilakukan perubahan mendasar. Dalam Pasal 18 UUD 1945 ayat (1) disebutkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah-daerah Provinsi dan Daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan UU. Dalam kalimat tersebut, terjadi hirarki antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah Provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah diakomodasi dalam bentuk urusan pemerintahan menyangkut pengaturan terhadap regional yang menjadi wilayah tugasnya. Hal ini berbeda dengan apa yang ditangkap dalam UU pemerintahan daerah sebelumnya, dimana dalam UU No.22 tahun 1999 hanya disebutkan bahwa Negara Indonesia terdiri atas daerah provinsi dan daerah kabupaten kota. Ini ditafsirkan tidak adanya hirarki antar pemerintahan sehingga muncul konsep “kesejajaran antara provinsi dan kabupaten/kota”. Akibatnya, banyak kabupaten/kota yang tidak tunduk kepada gubernur dengan alasan sesuai dengan aturan Undang-undang. Ketidak seimbangan antara eksekutif dan legislatif (Legislative heavy), yang dikuatirkan banyak kalangan pasca UU No.22 tahun 1999 berlaku mulai hilang. Hal ini dapat dilihat bahwa melalui UU No.32 ini, kewenangan DPRD banyak yang dipangkas, misalnya aturan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, DPRD yang hanya memperoleh laporan keterangan pertanggungjawaban, serta adanya mekanisme evaluasi gubernur terhadap Raperda APBD agar sesuai kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG SPPN


Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh Kementerian/Lembaga dan perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana dimaksud menghasilkan rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, rencana pembangunan tahunan.
Presiden menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam menyelenggarakan Perencanaan Pembangunan Nasional, Presiden dibantu oleh Menteri. Pimpinan Kementerian/Lembaga menyelenggarakan perencanaan pembangunan sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat mengkoordinasikan pelaksanaan perencanaan tugas-tugas Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Kepala Daerah menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan Daerah didaerahnya. Dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan Daerah, Kepala Daerah dibantu oleh Kepala Bappeda. Pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah menyelenggarakan perencanaan pembangunan Daerah sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Gubernur menyelenggarakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi perencanaan pembangunan antar kabupaten/kota.

UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 1999


Pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan. Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan. Pemberian pelayanan ticiak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi. Pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan. Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas.
Peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. Setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil. Setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan. Proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan :sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan. Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan. Setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau. Barang publik yang disediakan oleh instansi pemerintah dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah ditujukan untuk mendukung program dan tugas instansi tersebut.
Barang publik yang ketersediaannya merupakan hasil dari kegiatan badan usaha milik negara dan/ atau badan usaha milik daerah yang mendapat pelimpahan tugas untuk menyelenggarakan pelayanan publik (public service obligation). Misi negara adalah kebijakan untuk mengatasi permasalahan tertentu, kegiatan tertentu, atau mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak Misi negara adalah kebijakan untuk mengatasi permasalahan tertentu, kegiatan tertentu, atau mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak.

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH


Di Era Reformasi maka ada perubahan UUD 1945 yang mengatur tentang Pemerintah Daerah. Di dalam UUD 1945 baik sebelum perubahan maupun setelah perubahan namanya Pemerintah Daerah  Setiap peraturan perundang-undangan selalu ditinjau ulang. Begitu juga dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Di awal reformasi tepatnya pada Tahun 1999 Undnag-Undang tersebut ditinjau ulang.
Di dalam konsideran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 antara lain disebutkan: Bahwa efisiensi dan efektivitas penelenggaraan Pemerintah Daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan Pemerintahan dan antar Pemerintah Daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan Pemerintahan Negara dan bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan. 
Dalam wadah NKRI terdapat provinsi-provinsi yang merupakan daerah-daerah bagiannya, dan tiap-tiap daerah provinsi terdapat pula kabupaten-kabupaten dan kota yang merupakan daerah-daerah bagian dari provinsi-provinsi tersebut. Adanya konsep daerah ini terkait erat dengan kekecewaan umum terhadap penerapak ketentuan UU No. 22/1999 yang menganggap pola hubungan antar pemerintahan pusat dan provinsi serta kabupaten atau kota di seluruh Indonesia sebagai hubungan yang tidak hierarki, melainkan bersifat horizontal.

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1979 TENTANG DESA


Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia, desa-desa menjalani proses perlembagaan sebagai sebuah institusi modern sebagai pemerintahan otonom, yang keberadaannya diatur oleh pemerintah secara tersendiri. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa, Desa merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai suatu kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kestuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiridalam ikatan Nagara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa berlakunya Undang-Undang ini, keberadaan dan bentuk penyelenggaraan pemerintahan desa diseragamkan sebagai upaya membangun kesatuan dan persatuan bangsa, mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku yang pada dasarnya dapat memperkuat pemerintahan Desa agar mampu menggerakkan partisipasi masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DI DAERAH


Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
a.    Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta pembantu-pembantunya ; Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah ta
b.    Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari ngganya ;
c.    Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
d.    Tugas Pembantuan adalah tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya ; *4596
e.    Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
f.     Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabatnya di daerah:
g.    Wilayah Administratip, selanjutnya disebut Wilayah, adalah lingkungan kerja perangkat Pemerintah yang menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintahan umum di daerah;
h.    Instansi Vertikal adalah perangkat deri Departemen-departemen atau Lembaga-lembaga Pemerintah bukan Departemen yang mempunyai lingkungan kerja di Wilayah yang bersangkutan
Dalam menyelenggarakan pemerintahan, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah-daerah Otonom dan Wilayah-wilayah Administratip.
DAERAH OTONOM
Bagian Pertama Pembentukan dan Susunan
 (1)      Dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II.
 (2)      Perkembangan dan pengembangan otonomi selanjutnya didasarkan pada kondisi politik, ekonomi, sosial-budaya serta pertahanan dan keamanan Nasional.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1965 TENTANG DESAPRAJA SEBAGAI BENTUK PERALIHAN UNTUK MEMPERCEPAT TERWUJUDNYA DAERAH TINGKAT III DI SELURUH WILAYAH REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


bahwa berhubung dengan
perkembangan ketata negaraan menurut
Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku kembali sejak Dekrit
Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959, maka segala
Peraturan perundangan tata perdesaan umumnya, yang masih
mengandung unsur-unsur dan sifat-sifat colonial feodal harus diganti
dengan satu Undang-undang Nasional kedesaan yang berlaku untuk
seluruh wilayah Republik Indonesia;

Pasal 1.
Yang dimaksud dengan Desapraja dalam Undang-undang ini adalah
kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak
mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan
mempunyai harta benda sendiri.


Pasal 2.
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan perkataan:
a."Daerah" adalah daerah menurut ketentuan dan pengertian Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah;
b."Daerah atasan" adalah Daerah tingkat II dan Daerah tingkat I yang
menjadi atasan dari Desapraja;
c."Instansi atasan" adalah Pemerintah Daerah tingkat II, Pemerintah
Daerah tingkat I dan Pemerintah Pusat dengan segala Departemen
dan Jawatannya baik di Pusat maupun yang berada di Daerah-daerah tingkat I dan tingkat II;
d."Pemerintah Daerah" adalah Pemerintah Daerah menurut ketentuan
dan pengertian Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah;


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1965 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH


Pasal 1
(1) Yang dimaksud dengan "Daerah" dalam Undang-undang ini, ialah daerah besar dan daerah kecil tersebut
dalam pasal 18 Undang-undang Dasar yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
(2) Istilah-istilah "Propinsi", "Kabupaten" dan "Kecamatan" sebagaimana halnya dengan istilah-istilah
"Kotaraya", "Kotamadya" dan "Kotapraja", adalah istilah-istilah untuk nama jenis Daerah dan bukan
merupakan penunjukan sesuatu wilayah administratif.
(3) Yang dimaksud dengan "Kota" ialah kelompokkan penduduk yang bertempat tinggal bersama-sama
dalam satu wilayah yang batasnya menurut peraturan-peraturan yang telah ditentukan.
(4) Yang dimaksud dengan "Desa" atau daerah yang setingkat dengan itu adalah kesatuan masyarakat
hukum dengan kesatuan penguasa yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri
seperti dimaksud dalam penjelasan pasal 18 Undang-undang Dasar.

PEMBAGIAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DALAM DAERAH
Pasal 2
(1) Wilayah Negara Republik Indonesia terbagi habis dalam Daerah-daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah-tangganya sendiri dan tersusun dalam tiga tingkatan sebagai berikut:
a. Propinsi dan/atau Kotapraja sebagai Daerah tingkat I.
b. Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah tingkat II dan.
c. Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah tingkat III.
Pasal 3
(1) Pembentukan Daerah termaksud dalam pasal 2 ayat (1), nama, ibukota dan batasnya, serta tugas
kewenangan pangkalnya dan anggaran keuangannya yang pertama, diatur dengan Undang-undang.
(2) Penyempurnaan batas wilayah Daerah begitu pula pemindahan ibukota, perubahan nama dan batas
wilayah kemudian yang tidak mengakibatkan pembubaran sesuatu Daerah, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 4
(1) Kota dengan memperhatikan faktor-faktor sosial ekonomis, penduduk dan lain-lain, dapat dibentuk
menjadi Kotaraya, Kotamadya atau Kotapraja dimaksud dalam pasal 2.
(2) Sesuatu atau beberapa desa atau daerah yang setingkat dengan desa, dengan mengingat kehidupan
masyarakat dan kemajuan perkembangan sosial ekonominya serta dengan memperhatikan peraturanperaturan
hukum adat dan susunan asli yang masih hidup dan berlaku, dapat dibentuk menjadi Daerah
tingkat III.

SOSIALISASI, BIMTEK DAN PEMBINAAN CABOR FORMI

TANTANGAN FORMI KEDEPAN LEBIH BESAR TERUTAMA  RENCANA PERUBAHAN DARI FEDERASI OLAHRAGA REKREASI MASYARAKAT INDONESIA ( FORMI ) MENJADI KOMIT...