Bab 1
Birokrasi
Pemerintah
Bab ini diharapkan memberikan
perspektif pemikiran awal yang nantinya bisa dipergunakan sebagai landasan dari
uraian-uraian pada bab-bab selanjutnya. Uraian
yang diberikan dalam bab ini menjelaskan awal apa yang dimaksudkan
dengan birokrasi pemerintah. Birokrasi pemerintah acapkali disebut sebagai
kerajaan pejabat (officialdom) pada
hakikatnya memamerkan kekuasaan yang disusun secara hierarki. Susunan hierarki
kekuasaan seperti ini merupakan ciri khas dari perwujudan birokrasi Weberian.
Menurut Weber tipe ideal birokrasi yang rasional itu
dilakukan dalam cara-cara sebagai berikut:
1.
Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi
dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan
individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk
keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya;
2.
Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki
dari atas ke bawah dan ke samping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan
bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih
kecil
3.
Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki
itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya ;
4.
Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus
dijalankan. Uraian tugas (job description)
masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab
yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak ;
5.
Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi
profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang
kompetitif ;
6.
Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk
menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya.
Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya
sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu
;
7.
Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas
dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang
objektif ;
8.
Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan
menjalankan jabatannya dan resources instansinya
untuk kepentingan pribadi dan keluarganya ;
9.
Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan
pengawasan suatau sistem yang dijalankan secara disiplin.
(Weber, 1978 dan Albrow, 1970)
Pertumbuhan kekuasaan dalam
birokrasi pemerintah sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya pemerintahan itu
sendiri. Tumbuh dan berkembangnya pemerintahan itu adakalanya disebabkan karena
berkembangnya fungsi sosioekonomi, kaArena tekanan ideologi dan politik untuk
mengembangkan pendapatan. Adakalanya karena pengaruh klasifikasi dari kegiatan
kebijakan publik. Ada karena kenaikan bujet dan bertambahnya personel yang
mengerjakan kegiatan-kegiatan pemerintah. Kesemuanya itu membawa pengaruh yang
besar sekali bagi masyarakat. Lebih dari itu tidak ada lagi organisasi
masyarakat lainnya yang mampu menandingi kekuasaan yang tumbuh dan berkembang
pada pemerintahan.
Model
dalam membangun birokrasi pemerintahan yang dikemukakan pada bab ini memberikan
landasan pemikiran untuk menyusun bagaimana seharusnya sistem dan kelembagaan
yang dipilih. Dari model yang menekankan tentang demokrasi, konstitusi,
efisiensi, sampai dengan pandangan politik dan ekonomi bisa dijadikan acuan
pemikiran. Model-model yang dikemukakan oleh Douglas Yate dan pasangan Dun
Leavy dan O’leav bisa dianalisis bagaimana pemerintahan ini dirancang dan
dilaksanankan.
Model
pertama disebutnya sebagai model pluralist-democracy
dan model kedua dinamakan model administrative-efficiency.
Dua model ini cenderung diartikan sebagai ideologi yang menjadi doktrin dalam
mengatur negara atau pemerintahan. Model pluralist-democracy
berasumsi sebagai berikut:
1. Bahwa di
dalam masyarakat itu terdapat banyak sekali kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) yang berbeda satu sama
lain dan saling bersaing ;
2. Bahwa
pemerintah itu harus menawarkan suatu akses dan sarana partisipasi yang sama
kepada kelompok- kelompok kepentingan tersebut ;
3. Bahwa
pemerintah harus mempunyai banyak pusat-pusat kekuasaan yang menyebar baik
vertical maupun horizontal untuk menjamin keseimbangan (a balance of power) ;
4. Bahwa
pemerintahan dan politik itu harus bisa dipahami sebagai suatu sarana kompetisi
di antara kepentingan- kepentingan minoritas ;
5. Bahwa ada
probabilitas yang tinggi bahwa suatu kelompok yang aktif dan legitimate dalam suatu populasi bisa
membuat dirikunya mendengar secara efektif terhadap tahapan-tahapan yang
krusial dalam proses pembuatan kebijaksanaan ;
6. Bahwa
kompetisi di antara institusi pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan
nonpemerintah bisa menyebabkan terjadinya suatu bargaining dan kompromi, dan juga menghasilkan suatu keseimbangan
kekuasaan dalam masyarakat.
Adapun model satunya yang dinamakan administrative-efficiency asumsi
dasarnya menurut Yates sebagai berikut:
1. Model ini
menentang model pluralist-democracy,
karena model pluralis tidak mampu memberikan dasar yang kuat dan cocok terhadap
kebijaksanaan publik yang rasioanl dan bebas nilai (values free) ;
2. Bahwa nilai
utama dari proses kebijaksanaan publik itu ialah efisiensi, yakni diperoleh
suatu hasil yang terbsesar dengan biaya yang terkecil ;
3. Bahwa
birokrat haruslah pejabat yang professional, dipilih dan diangkat secara
kompetitif berdasarkan kompetensi dan merit ;
4. Bahwa sistem
merit dan keahlian ditata dan diorganisasikan secara efektif ke dalam suatu
hierarki yang memuat spesialisasi fungsi dengan pertanggung jawaban dan
kewajiban yang jelas ;
5. Bahwa politik dan administrasi,
demikian pula kenyataan (fact) dan
nilai (values) harus bisa dipisahkan
;
6. Bahwa
perencanaan merupakan proses yang esensial bagi proses pembuatan keputusan yang
baik dan sentralisasi manajemen fiskal merupakan hal yang esensial bagi
tercapainya kejujuran dan efektivitas ;
7. Bahwa
kemampuan melakukan koordinasi yang menyeluruh dan energized sehingga menjadi bagian dari suatu sistem birokrasi
publik yang kuat haruslah diletakkan kepada eksekutif yang dipilih sebagai
wakil dari kepentingan rakyat.
Adapun pilihan yang diajukan dalam
model-model tersebut bisa dikelompokkan ke dalam dua pertanyaan besar, yakni:
(1) apakah kita akan memilih model birokrasi yang demokratis atau menekankan
pada efisensi saja, dan (2) apakah kita akan meletakkan birokrasi pemerintah
termasuk di dalamnya para birokratnya bebas dari kepemilihan pada
kekuatan-kekuatan partai politik atau memihak. Dilema ini akan selalu dihadapi
jika kita tidak mampu memilih salah satu di antara kedua pertanyaan tersebut,
atau mencari model lain yang sesuai.
Ada
dua sistem pemerintahan demokrasi, yakni Demokrasi Parlementer dan Demokrasi
Presidensial. Hampir semua negara demokrasi di dunia yang mngikuti sistem
Demokrasi Parlementer, sisanya mengikuti sistem Demokrasi Presidensial.
Indonesia mengikuti Demokrasi Presidensial, akan tetapi juga pernah mencoba
melaksanakan Demokrasi Parlementer.
Politik
dan birokrasi pemerintah keduanya berbeda akan tetapi keduanya tidak bisa
dipisahkan. Kehadiran politik dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari.
Oleh sebab itu, perlu diikuti dengan kelembagaan politik dalam birokrasi. Dalam
birokrasi pemerintah tidak mungkin hanya didominasi oleh para birokrat tanpa
memberikan kesempatan hadirnya institusi politik. Rancang bangun penghuni
birokrasi pemerintah akan dijumpai hadirnya jabatan-jabatan birokrasi karier
dan jabatan-jabatan politik. Bangunan jabatan-jabatan tersebut tidak hanya
terjadi diinstitusi pemerintah atau pemerintah federal, melainkan terdapat pula
dalam institusi pemerintah lokal atau daerah.
Di
pemerintah pusat atau federal terdapat institusi politik di bawah presiden yang
disebut departemen. Organisasi ini merupakan tempat politik yang mempunyai
akses kepada kepada pemerintahan. Institusi ini dipimpin menteri atau secretary. Selain itu ada pula institusi
yang murni dijabat oleh pejabat birokrasi karier yang disebut executive agency atau lembaga pemerintah
nondepartemen. Lembaga ini sederajat dengan departemen hanya bedanya tidak
dipimpin oleh menteri atau secretary dan tidak diberi label departemen.
Di
pemerintah lokal atau daerah dapat pula dibentuk jabatan-jabatan politik dan
birokrasi. Keduanya harus jelas perbedaan wewenang, tanggung jawab, tugas pokok
dan fungsinya. Oleh karena itu, sebelumnya perlu diperjalas proses penentuan
perbedaan antara kedua jabatan tersebut.
Bab 2
Birokrasi
dan Administrasi Publik
Ilmu
Administrasi Publik memang bukan sekedar sketsa yang hanya mampu menggambarkan
sesuatu gejala tanpa diikuti program aksi yang realistis. Jika administrasi
publik hanya membicarakan hal-hal yang abstrak yang tidak membumi dikehidupan
masyarakat maka ilmu ini banyak diabaikan dan kurang ada perannya dalam menata
kepemerintahan yang amanah, demokratis dan baik. Oleh karena itu, konsep-konsep
dan model yang diajukan oleh ilmu administrasi publik, seperti yang diuraikan
di dalam bab ini tata kepemerintahan yang demokratis (democratic state) dan tata kepemerintahan yang baik (good governance) perlu diikuti oleh
konsep dan model yang operasional.
Administrasi
Publik sangat perhatian terhadap terwujudnya tata kepemerintahan yang baik dan
amanah. Tata kepemerinrtahan yang baik itu diwujudkan dengan lahirnya tatanan
kepemerintahan yang demokratis dan diselenggarakan secara baik, bersih,
transparan dan berwibawa. Tata kepemerintahan yang demokratis menekankan bahwa
lokus dan fokus kekuasaan itu tidak hanya berada di pemerintahan saja,
melainkan beralih terpusat pada tangan rakyat. Penyelenggaraan tata kepemerintahan
yang baik terletak seberapa jauh konstelasi antara tiga komponen rakyat,
pemerintah dan pengusaha berjalan secara kohesif, selaras, kongruen, dan
sebanding. Berubahnya sistem keseimbangan antara tiga komponen tersebut bisa
melahirkan segala macam penyimpangan termasuk korupsi, kolusi, dan nepotisme
berikut tidak ditegakkannya hukum secara konsekuen.
Bab
ini menerangkan pemahaman Ilmu Administrasi Publik dan perannya dalam
menciptakan tata kepemerintahan yang demokratis dan baik (good governance). Menurut UNDP ada tiga komponen yang berperan
menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Tiga komponen itu ialah: aktor
pemerintah, aktor sektor swasta atau para pengusaha, dan aktor civil society atau rakyat.
Dalam
menciptakan tata kepemerintahan yang baik, penyakit yang senantiasa merusak dan
menggerogotinya ialah korupsi, kolusi dan nepotisme. Ketiga penyakit good governance ini perlu ditanggulangi
dengan mengajukan satu komponen lagi yaitu komponen moral. Komponen moral ini
harus menyinari ketiganya. Moral sebagai operasionalisasi dari keyakinan agama
yang dipeluk oleh masing-masing orang yang berada dimasing-masing komponen
harus menjadi pertimbangan bagi setiap transaksi diantara ketiganya. Khusus
bagi para pejabat birokrasi pemerintah moral dijadikan pertimbangan utama mulai
dari proses rekruitmen, promosi dan penempatan pejabat birokrasi pemerintah.
Peran
ilmu administrasi publik amat menentukan dalam menciptakan keseimbangan keempat
komponen tersebut. Dengan demikian ilmu administrasi publik tidak hanya terpaku
pada lukisan statis yang hanya mampu mengajukan preskripsi teoritis saja, akan
tetapi juga mampu mengembangkan program aksi yang dinamis dan bermanfaat bagi
masyarakat. Bagaimana mewujudkan konsep pemikiran menjadi kenyataan putting the ideas into practice merupakan
perhatian yang amat besar bagi ilmu administrasi publik ini.
Bab 3
Birokrasi
dan Partai Politik
Bab
ini memberikan uraian hubungan birokrasi dan partai politik. Setelah diuraikan
partai politik dan ideologi, demikian pula ideologi dengan pemerintahan, maka
sampailah kepada uraian tentang netralitas birokrasi terhadap partai politik.
Sistem merit dalam politik sebagaimana sistem merit dalam birokrasi merupakan
untuk menegaskan sistem pemerintahan yang baik.
Karakteristik
yang sangat menonjol dari istilah yang menunjukkan pengertian ideologi adalah
selalu mempergunakan akhirnya isme (ism),
seperti misalnya sosialisme (socialism),
fasisme (fascism), komunisme (communism), liberalism (liberalism) dan lain sebagainya. Suatu
ideologi tidaklah sama dengan sebuah idea tau suatu konsep pendapat. Melainkan
ideologi adalah lebih bersifat suatu rangkain ide-ide yang satu sama lainnnya
secara logis (in logical way)
mempunyai keterkaitan.
Politik
selalu berkaitan dengan kehidupan bernegara dan berpemerintahan. Studi politik
yang amat tua dan tradisional merujuk ke masa silam yang jauh ke kejayaan para phisolopher Yunani berabad-abad sebelum
kelahiran Nabi Isa Alaihis Salam. Tradisi tua ini oleh studi politik disebut
sebagai filsafat politik, yakni suatu kajian yang menekankan bahwa nilai-nilai
dan perilaku politik berada pada bingkai ideologi. Dengan demikian ideologi
menjadi referensi pokok dari studi klasik tentang politik. Dalam bab ini pada
awalnya diterangkan pemahaman dan pengenalan terhadap identitas ideologi
berikut komponenya. Ideologi dalam pemerintahan merupakan salah satu wujud dari
ideologi politik yang berusaha menjelaskan batas-batas kekuasaan yang berlaku
dan yang terjadi dalam pemerintahan. Kekuasaan dalam pemerintahan cenderung
untuk tidak dibatasi. Akan tetapi kekuasaaan itu perlu dibatasi. Cara membatasi
kekuasaan dalam pemerintahan sistem demokrasi perlu dijalankan. Dan demokrasi
dalam pemerintahan itu adalah kepemerintahan yang dijalankan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat.
Pertanyaan
yang mendasar ialah siapa yang sebenarnya disebut rakyat itu? Dalam bab ini
dijawab bahwa rakyat biasa dijumpai dalam partai politik dan kekuatan-kekuatan
kelompok kepentingan lainnya. Rakyat melalui partai politik dan
kelompok-kelompok kepentingan lainnya menjadi pemegang dan sumber dari
kekuasaan yang dijalankan dalam pemerintahan. Oleh karena itu, kelahiran dan
kehadiran partai politik sebagai wadah politik rakyat dalam memperjuangkan
aspirasinya agar bisa dijalankan dalam pemerintahan merupakan keharusan
demokrasi. Dengan demikian kehadiran partai politik dalam birokrasi pemerintah
tidak bisa dihindari. Masuknya partai politik dalam kekuasaan pemerintahan
harus melalui pemilihan umum. Bagi partai politik yang memenangkan sauara
terbanyak dari rakyat berhak baginya untuk memimpin pemerintah dan hadir di
tengah-tengah birokrasi pemerintah.
Bab
ini juga menawarkan beberapa prinsip dan model demokrasi dalam pemerintahan.
Demokrasi merupakan suatau bentuk pemerintahan yang ditata dan diorganisasikan
berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (popular souvereignity), kesamaan politik (political equality), konsultasi atau dialog dengan rakyat (popular consultation) dan berdasarkan
pada aturan suara mayoritas.
Bab
ini ditutup dengan mengajukan sistem dan model merit dalam politik. Sistem
merit dalam politik diuraikan dibab ini, agar sistem merit ini tidak hanya
dimiliki dan dimonopoli oleh pejabat-pejabat karier dalam pemerintahan saja.
Dengan demikian karier dalam politik mulai dari tataran yang rendah sampai ke
tataran yang lebih tinggi sehingga mencerminkan ke profesionalitas politik amat
diperlukan bagi pejabat-pejabat yang meniti di jalur politik ini.
Bab 4
Partai
Politik dan Birokrasi Pemerintah di Indonesia
Partai
politik dan birokrasi pemerintah di Indonesia mulai berinteraksi, berkaitan dan
saling terlibat sejak bulan-bulan awal kemerdekaan. Ketika Maklumat X Wakil
Presiden yang dikeluarkan tahun 1945, ketika itu pula mulai dikenal kehidupan
partai politik. Kehadiran partai politik sebagai perwujudan dari kemerdekaan
rakyat untuk berserikat merupakan realisasi dari demokrasi. Kehadiran partai
politik ini sekaligus memberikan legitimasi dari kehadiran mereka dalam
pemerintahan. Kehadiran mereka dimulai dari hadirnya para menteri yang memimpin
kementrian dalam susunan kabinet pemerintah.
Sejarah
kehadiran partai politik dalam pemerintahan yang dipresentasikan dalam susunan
kabinet dapat dimulai dari kabinet pertama yang bersifat presidensial sampai
dengan kabinet zaman pemerintahan Orde Baru dan disusul dengan kabinet zaman
reformasi. Susunan kabinetnya dengan mempergunakan sebutan yang bermacam-macam
untuk masing-masing kementriannya menunjukkan adanya variasi yang berbeda satu
sama lainnya. Semenjak peran partai politik dalam susunan kabinet baik pada
sistem parlementer maupun presidensial sangat menentukan, maka semenjak itu
lokus dan fokus penggunaan kekuasaan bergerak sesuai dengan gerakan bandul pendulum
antara legislatif dan eksekutif. Periodisasi penggunaan kekuasaan itu dapat
ditemukan semenjak kabinet pertama di dalam UUD 45, kemudian dalam Kabinet
Parlementer dalam UUD 45 pertama, disusul dalam Kabinet Parlementer dalam UUD
45, Kabinet Parlementer dalam UUD 50, Kabinet Presidensial dalam UUD 45 kedua,
Kabinet Presidensial pemerintah Orde Baru, dan sampai sekarang ini. Gerakan
pendulum bergerak antara titik kekuasaan yang berada di eksekutif, kemudian
bergerak pindah di legislatif, bergerak lagi ke eksekutif, dan sekarang
tampaknya berada di legislatif lagi. Para pelakunya tidak ada lain kecuali
partai politik, pegawai birokrasi pemerintah, dan militer.
Memang
sebenarnya kehadiran partai politik dalam tatanan birokrasi pemerintah sulit
dihindari untuk menjadikan birokrasi netral. Setiap saat partai politik yang
memimpin birokrasi pemerintah berinteraksi dengan pejabat karier birokrasi.
Pihak mana dulu yang memulai, apakah partai politiknya atau dari pejabat
birokrasinya, semuanya bisa terjadi. Interaksi seperti inilah yang membangun
sistem birokrasi pemerintah yang rentan terhadap intervensi politik. Di dalam
sistem pemerintahan perwakilan konstitusional birokrasi pemerintah merupakan
mesin yang netral, akan tetapi operasional mesin tersebut sangat tergantung
kepada pemerintahan yang dipilih oleh wakil-wakil rakyat di parlemen. Dengan
demikian pemerintahan itu sangat tergantung pula oleh partai politik yang
memerintah pegawai dan pejabat birokrasi pemerintah sebagai salah satu pilar
utama pemerintahan ibarat mesin itu bisa bisa saja diputar atau distop kapan
saja oleh masternya, yakni partai politik. Sebaiknya jika dilakukan reformasi,
maka hendaknya dimulai dari membangun sistem yang menjunjung tinggi moral,
etika, dan supremasi hukum. Bangunan itu harus didasari oleh UU yang tegas akan
sangsinya.
Bab 5
Aspek
Kelembagaan dalam Birokrasi Pemerintah Sipil
Pengalaman
selama ini dalam menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis membawa kita kepada suatu pilihan untuk melahirkan
suatu sistem pemerintahan yang didukung oleh seluruh komponen rakyat (civil society). Pemerintahan sipil yang
dikelola dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat menjelang akhir dasawarsa
yang lalu dikenal dengan istilah pemerintahan dari masyarakat madani.
Pemerintahan semacam ini bisa melahirkan terwujudnya masyarakat sipil dan
amanah. Terwujudnya masyarakat sipil yang amanah ini juga akan melahirkan
sistem pemerintahan madani, suatu pemerintahan demokratis yang meletakkan peran
rakyat pada titik sentral yang utama. Suatu sistem pemerintahan yang amanah
madaniah akan didukung pula oleh kelembagaan birokrasi pemerintah yang disiplin
.
Masyarakat
madani acapkali dialihbahasakan dari istilah civil society yang kira-kira bisa diterjemahkan secara harfiah
menjadi masyarakat sipil. Terjemahan seperti itu atau menamakan civil society atau masyarakat madani
sebagai masyarakat sipil, banyak kalangan yang keberatan karena tidak mewadahi
pemahaman keseluruhan dari istilah tersebut. Terjemahan dari bahasa manapun
kiranya tidak ada yang bisa persis cocok seperti makna aslinya. Itulah sebabnya
suatu terjemahan hendaknya dijadikan sebagai kurang lebih seperti maknanya. Civil society sebenarnya menurut
tangkapan penulis tidak ada lain artinya sebagai suatu lembaga yang ingin
mendudukkan supremasi sipil dalam tata kenegaraan. Istilah sipil mestinya
dilawankan dengan istilah nonsipil, dan yang nonsipil itu adalah militer.
Selama ini kita tidak berani mengatakan itu, karena semenjak Orde Baru rakyat
Indonesia dicegah membicarakan soal supremasi sipil dalam sistem pemerintahan
nasional.
Jika
ditelusuri dalam perkamusan, makna istilah civil
dalam kamus bahasa Inggris karangan John Echols dan Hassan Shadily (1975)
merupakan kata sifat yang artinya sipil atau perdata. Kata bendanya adalah civilan atau civilization yang artinya bisa orang sipil atau peradaban. Dengan
demikian civil society kalau
diterjemahkan dengan mengingat arti kata civil,
civilian dan civilization adalah masyarakat yang di dalamnya peradaban dijunjung
tinggi. Dengan kata lain masyarakat sipil yang penuh dengan peradaban. Satu
pengertian, yakni peradaban yang mestinya tidak boleh dilupakan jika memahami civil society yang dipopulerkan di
Indonesia dan Malaysia sebagai padanan dengan masyarakat madani. Dengan
demikian dalam masyarakat yang peradaban itu menjadi acuan utama dan dijunjung
tinggi. Peradaban merupakan wujud dari sifat akhlakul karimah, akhlak yang terpuji dari setiap pelaku dan
anggota masyarakat madani. Pemerintahan madani dan kelembagaan birokrasi madani
sebagai lemabaga yang akan mewujudkan masyarakat madani harusnya dikelola oleh
orang-orang yang berakhlakul karimah.
Bab
ini secara ringkas mengemukakan pokok-pokok pikiran tentang kelembagaan dalam
masyarakat madani. Demikian pula dasar-dasar pembentukan kelembagaan dari
pemerintahan masyarakat madani diuraikan secara padat. Sebagaiamana kita
ketahui setelah mengalami proses pmerintahan yang jauh dari demokrasi, maka
tiba saatnya sekarang kita mencari model baru yang konsisten dalam melaksanakan
demokrasi. Model baru tersebut ialah paradigma masyarakat dan pemerintahan
madani. Dalam paradigma ini demokrasi yang berintikan pada kedaulatan rakyat
dan pengakuan adanya moral perbedaan mencerminkan adanya pengakuan atas
kemajemukan, kesetaraan, transparansi, dan yang menjunjung tinggi hukum
dilaksakan secara konsekuen. Ada tiga kelembagaan yang perlu memperoleh
perhatian dalam paradigma masyarakat madani ini, yakni kelembagaan rakyat,
kelembagaan pemerintahan, dan kelembagaan hukum. Selain itu hubungan yang erat
antara lembaga rakyat, lembaga pemerintahan dan sektor private dalam masyarakat dan pemerintahan madani perlu memperoleh
perhatian yang baik.
Pemerintahan
madani menempatkan supremasi sipil dalma mengatur sistem dan tata pemerintahan
yang baik. Hal ini berarti dominasi militer sebagai penentu kekuasaan dalam
sistem dan pelaksanaan tata pemerintahan
yang selama ini kita rasakan hendaknya mulai disiapkan diganti dengan
supremasi sipil. Hal ini berarti negara harus mulai dilakukan dan dirumuskan
oleh orang-orang politik wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat. Mereka itu
berada di lembaga perwakilan baik di DPR maupun MPR atau bentuk baru lagi
setelah amandemen UUD 45, yang lembaga ini kita sepakati sebagai lembaga
politik di negara kita.
Peranan
partai politik sebagai wadah dari kumpulan rakyat merupakan bentuk transformasi
dari lembaga rakyat yang memegang kedaulatan rakyat. Peranan sebagai lembaga
rakyat ini harus diikuti oleh peningkatan kualitas dari partai politik sendiri.
Sejalan dengan upaya peningkatan kualitas partai politik, maka iklim dan
suasana demokrasi akan berkembang dengan baik. Jika demokrasi berjalan dengan
baik yang dimulai dari tata kehidupan berpartai tersebut, maka masyarakat
madani akan bisa segera diwujudkan. Tanpa peningkatan ini maka upaya
melembagakan paradigma madani sulit bisa direalisasikan.
D. SIMPULAN
DAN SARAN 1. Simpulan
Buku ini
banyak memberikan sumbangsih bagi para sarjana-sarjana ilmu politik,
pemerintahan dan adminstasi Negara dalam hal kajian birokrasi pemerintah dan
politik di Indonesia. Buku ini saya anggap sebagai kitab wajib yang harus
dikuasai oleh para calon-calon birokrat negeri ini. Ulasan yang diberikan oleh
Thoha, ditulis secara eksplisit disertai dengan realita faktual yang ada di
tubuh birokrasi pemerintah hari ini, Contoh yang dipaparkan dalam buku bersifat
deskriptif dan merupakan fenomena faktual, namun belum didukung dengan data
yang konkrit. Referensi yang diberikan oleh buku ini pun sangat banyak Dari
segi rekomendasi yang diberikan oleh penulis dalam permasalahan yang dijabarkan
pada setiap pokok bahasan terlihat cukup ringkas dan kurang eksplisit. Penulis
belum memberikan rekomendasi yang sifatnya teknis, artinya rekomendasi masih
dalam bentuk ulasan deskriptif saja.
2. Saran
Sebagai
salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan para calon sarjana ilmu politik,
pemerintahan, adminstrasi, ataupun kebutuhan para birokrat negeri ini, alangkah
lebih baik jika rekomendasi yang diberikan oleh buku serupa bisa lebih
eksplisit dan tidak hanya dalam bentuk uraian deskriptif. Hal ini semata-mata
agar pembaca lebih bisa paham secara utuh mengenai permasalahan birokrasi dan
politik, sekaligus bagaimana cara memperbaikinya. Karena sejatinya, ilmu
pengetahuan diciptakan harus bertanggungjawab atas perubahan dan pemberdayaan
masyrakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar