Kontribusi Sektor Pariwisata
Terhadap Perekonomian
Sudah
sejak lama, sektor pariwisata menjadi salah satu sektor ekonomi yang diandalkan
benyak negara untuk mengeruk devisa dari kunjungan para wisatawan asing, dan
penggerak sektor riil dari kunjungan wisatawan lokal. Bahkan tidak sedikit
negara yang menjadikan pariwisata sebagai bagian dari skema penanggulangan
kemiskinan. Di Indonesia, misalnya, mulai tahun 2005 koordinasi kebijakan
bidang kesejahteraan rakyat yang dikomandoi Kemenko Kesra difokuskan pada
harmonisasi dan penyatuan kebijakan peningkatan pembangunan pariwisata dan
upaya pengentasan kemiskinan. Asumsinya, pengembangan potensi pariwisata secara
optimal akan memberi kontribusi signifikan terhadap upaya penanggulangan
kemiskinan di Indonesia.[1]
Pariwisata
dijadikan fokus koordinasi karena sektor ini merupakan penyumbang devisa
terbesar setelah ekspor migas. Selain itu pariwisata juga mampu berperan vital
dalam penyerapan tenaga kerja dan pemberdayaan usaha mikro dalam jumlah tinggi
pada derah-daerah tujuan wisata maupun daerah-daerah lain penghasil produk
pasokan untuk menunjang industri pariwisata di berbagai tempat.
Setiap negara yang mengandalkan
sektor pariwisata untuk mendongkrak devisa pasti sangat berharap arus
kedatangan wisatawan asing dalam jumlah besar. Karenanya banyak negara
berlomba-lomba mengemas paket wisatanya demi memancing minat wisatawan asing.
Slogan-slogan khas sering diperdengarkan di berbagai forum. Misalnya,
Yogyakarta sebagai salah satu destinasi favorit turis asing mengusung slogan, “Never Ending Asia”, sementara Malaysia
menawarkan sensasi “Trully Asia.”
Rivalitas itulah yang sering memicu sengketa antar negara seperti yang
belakangan ini terjadi antara Indonesia dan Malaysia terkait iklan pariwisata
Malaysia yang dinilai mengklaim produk seni-budaya Indonesia untuk dijadikan
ikon wisatanya. Ibarat orang berjualan, pariwisata merupakan komoditas yang
sering menjadi objek persaingan. Hal itu lumrah-lumrah saja dalam logika bisnis
mengingat pariwisata memang sesuatu yang menggiurkan secara ekonomi.
Sebagai
contoh, sejak Presiden Joko Widodo menetapkan pariwisata sebagai sektor
unggulan pembangunan nasional, dunia pariwisata Indonesia menjadi salah satu
sektor ekonomi terbesar dan tercepat pertumbuhannya. Bahkan, pariwisata menjadi
core economy negara ini ke depan. Melalui branding Wonderful Indonesia,
peringkat pariwisata Indonesia di dunia berada di posisi ke-50 pada 2015.
Bahkan, berdasarkan laporan resmi World Economic Forum, Indonesia berhasil
melejit delapan peringkat hingga ke peringkat 42 pada 6 April 2017. Sebelumnya,
di peringkat ke-70 dari 141 negara pada 2013. Sektor pariwisata
diproyeksikan mampu menyumbang produk domestik bruto sebesar 15%, Rp 280
triliun untuk devisa negara, 20 juta kunjungan wisatwan mancanegara, 275 juta
perjalanan wisatawan nusantara dan menyerap 13 juta tenaga kerja pada 2019.
Lebih jauh, sektor pariwisata diyakini mampu menciptakan pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi yang lebih tersebar di seluruh negeri ini.[2]
Hal tersebut menjadi indikasi bahwa potensi
pariwisata selama ini sudah diposisikan sebagai pilihan sektor yang strategis
bagi upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, tidak
terkecuali Indonesia. Bahkan seperti dijelaskan di atas, mulai tahun 2005 di
Indonesia sudah ada kebijakan untuk mengintegrasikan antara pengembangan
pariwisata dan upaya penanggulangan kemiskinan. Hal ini menjadi mungkin karena
dampak dari pertumbuhan sektor pariwisata bisa berpengaruh terhadap berbagai
sektor yang lain. Misalnya, pertanian, pertambangan, industri, listrik, gas dan
air bersih, konstruksi, perdagangan, hotel dan restoran, transportasi,
komunikasi, ekonomi kreatif, dan lain sebagainya. Keadaan tersebut
mengindikasikan betapa luas dan beragamnya sektor-sektor ekonomi lainnya yang
terkena imbas kolateral dari dinamika industri pariwisata. Dan jangan juga
dilupakan sistem jejaring usaha akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui jalur pariwisata
juga berefek luas secara jangkauan di masyarakat (Demartoto dan Sugiarti,
2009).[3]
“Wisata Halal”,
Tren Baru Industri Pariwisata
Sebagai entitas ekonomi, pariwisata pun
berjalan dengan dalil-dalil dasar ekonomi, terutama ekonomi industri. Salah
satunya, industri pariwisata senantiasa dituntut kreatif dan inovatif dalam
menciptakan peluang-peluang baru yang berpotensi menciptakan komoditas wisata
yang orisinil, otentik, fresh, dan
punya nilai kebaruan untuk menggantikan objek wisata lama yang sudah mencapai
titik jenuh. Hanya dengan begitu, industri pariwisata tidak akan “mati gaya”
dalam mempromosikan produk-produk pariwisata kepada calon wisatawan.
Lebih-lebih kepada calon wisatawan asing yang memang punya ekspektasi tinggi
terhadap pilihan destinasi wisata yang hendak mereka datangi.
Salah
satu terobosan dan inovasi itu adalah kelihaian produsen industri wisata untuk
mengemas
tren wisata baru. Misalnya,
wisata halal. Secara konseptual, wisata halal sebenarnya tidak jauh berbeda dengan wisata pada
umumnya. Wisata halal merupakan konsep wisata yang memudahkan wisatawan Muslim
untuk memenuhi kebutuhan berwisata mereka. Kebutuhan itu antara lain: adanya
rumah makan bersertifikasi halal, tersedianya masjid/musholla di tempat umum,
adanya fasilitas kolam renang terpisah antara pria dan wanita, dan lain-lain. Sehingga wisata halal bukan hanya meliputi keberadaan tempat
wisata ziarah dan religi, melainkan juga mencakup ketersediaan fasilitas
pendukung, seperti restoran dan hotel yang menyediakan makanan halal dan tempat
shalat, serta persyaratan lainnya. Maka, Pengembangan wisata halal menjadi
alternatif bagi industri wisata di Indonesia seiring dengan tren wisata halal
yang menjadi bagian dari industri ekonomi Islam global (Jaelani, 2017).[4]
Dinamika pariwisata dunia dalam tiga tahun terakhir
dipengaruhi oleh peningkatan jumlah perjalanan antar negara dan pertumbuhan
perekonomian terutama di kawasan Asia Pasifik. Pasar perjalanan muslim terus menjadi
salah satu segmen yang paling cepat berkembang di industri perjalanan dunia.
Pada tahun 2015, ada 117 juta pergerakan wisatawan muslim internasional. Angka
tersebut diproyeksikan akan terus tumbuh menjadi 168 juta wisatawan muslim pada
tahun 2020, di mana pengeluaran perjalanan wisatawan muslim diperkirakan akan melebihi
US$220 miliar.[5]
Potensi Wisata Halal di Madura/Pamekasan
Secara
potensi, banyak destinasi wisata di Madura, khususnya Pamekasan yang sangat
menjanjikan. Baik itu destinasi wisata alam, budaya, wisata kuliner maupun
wisata religi. Dalam catatan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Pamekasan, setidaknya ada delapan (8) destinasi wisata favorit di Pamekasan,
yakni:
- Gua Blaban
- Bukit Waru
- Vihara
Avalokitesvara atau Kelenteng Kwan Im Kiong
- Pantai
Talang Siring
- Rawa
Mangunan
- Pantai
Jumiang
- Air Terjun
Durbugen
- Wisata Api
Tak Kunjung Padam
Delapan
objek wisata tersebut, dan berbagai objek wisata potensial lainnya tentu saja
sangat mungkin dikelola dan dijalankan dalam kerangka paradigma “wisata halal.”
Sebab dalam konteks wisata halal, yang penting bukan pada jenis objek
wisatanya, melainkan pada bagaiman cara kita mengelola objek wisata tersebut.
Dalam
kaitan potensi pelaksanaan wisata halal tersebut, Madura dan Pamekasan pada
khususnya tentu memiliki potensi yang sangat besar. Sebab di Pulau Garam ini,
konstruksi sosiologis dan antropologis masyarakatnya sangat Islami. Selain
secara demografis mayoritas warga Madura beragama Islam, sistem sosial dan
kebudayaannya juga kuat dipengaruhi kultur Islam. Begitu pula dengan sistem
pendidikan di Madura yang masih didominasi oleh sistem pendidikan madrasah dan
pesantren. Demikian pula dengan pola relasi sosial dan stratifikasi social yang
masih menempatkan Ulama (Kiai) sebagai figur penting di tengah masyarakat.[6]
Konstruksi
sosial-budaya semacam itu yang dapat dijadikan modal dasar bagi Pamekasan (dan
juga Kabupaten yang lain) untuk mulai menata potensi wisata dalam kerangka
wisata halal agar dapat memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi lokal.
Hal ini penting agar potensi besar di sektor wisata halal tersebut dapat
terkonversi secara maksimal demi kesejahteraan rakyat. Maka, salah satu cara yang harus dikembangkan
adalah mengubah cara berpikir kita. Dari awalnya manual, konvensional, bergeser
pad acara berpikir milenial dan modern.
Industri Wisata Halal Pamekasan Menuju Revolusi Industri 4.0
Adalah Prof Klaus Schwab, Ekonom terkenal asal Jerman, dalam bukunya, “The Fourth Industrial Revolution” untuk pertama kalinya mengenalkan konsep Revolusi Industri 4.0 (generasi keempat). Prof Schawab (2017) menjelaskan
revolusi industri generasi ke-4 ini memiliki skala, ruang lingkup dan
kompleksitas yang lebih luas. Kemajuan teknologi baru yang mengintegrasikan
dunia fisik, digital dan biologis telah mempengaruhi semua disiplin ilmu,
ekonomi, industri dan pemerintah. Bidang-bidang yang mengalami terobosoan
berkat kemajuan teknologi baru diantaranya (1) kecerdasan buatan (artificial intelligence), (2) teknologi
nano, (3) bioteknologi, dan (4) teknologi komputer kuantum, (5) blockchain
(seperti bitcoin), (6) teknologi berbasis internet, dan (7) printer 3D.
Revolusi industri 4.0 merupakan fase keempat dari perjalanan sejarah
revolusi industri yang dimulai pada abad ke -18. Revolusi industri mengalami puncaknya saat ini dengan
lahirnya teknologi digital yang berdampak masif terhadap hidup manusia di
seluruh dunia. Revolusi industri terkini atau generasi keempat (revolusi industri 4.0) mendorong sistem otomatisasi di dalam semua proses aktivitas. Teknologi
internet yang semakin masif tidak hanya menghubungkan jutaan manusia di seluruh
dunia tetapi juga telah menjadi basis bagi transaksi perdagangan dan
transportasi secara online. Munculnya bisnis transportasi online seperti Gojek,
Uber dan Grab, maupun
online shop seperti Tokopedia, Lazada, Buka Lapak, dan sebagainya menunjukkan integrasi aktivitas manusia dengan teknologi informasi dan
ekonomi menjadi semakin meningkat. Berkembangnya teknologi autonomous vehicle (mobil tanpa supir), drone, aplikasi media
sosial, bioteknologi dan nanoteknologi semakin menegaskan bahwa dunia dan
kehidupan manusia telah berubah secara fundamental.[7]
Dalam
konteks ini, modernisasi industri pariwisata (terutama wisata halal) di
Pamekasan harus mengikuti alur revolusi industri 4.0 tersebut jika kita tidak
ingin ketinggalan laju perubahan global. Segalanya harus ditata secara
sistemik, terintegrasi satu sama lain dan dapat dioperasikan secara cepat
dengan berbasis pada teknologi digital.
Dalam
kaitan tersebut, proses modernisasi industry wisata halal di Pamekasan dapat
dimulai dengan memperbaiki beberapa hal berikut ini.
- Pemutakhiran Dokumen
Perencanaan (regulasi, RPJMD)
Semua
proses perubahan dalam pemerintahan harus dimulai dengan penyusunan dokumen
perencanaan yang baik. Dalam konteks ini, dokumen perencanaan tersebut dapat
berbentuk RPJMD (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah) yang harus
memuat proyeksi pembangunan di Kabupaten Pamekasan secara detail dan holistis.
Termasuk dalam hal ini, visi untuk memodernisasi industri wisata halal wajib
menjadi salah satu poin penekanan dalam RPJMD Pamekasan lima tahun ke depan.
- Perbaikan Infrastruktur
Modernisasi
industri pariwisata di Pamekasan harus didukung oleh ketersediaan sarana dan
prasarana yang layak dan memadai. Mustahil kita kampanye kepada para wisatawan
nasional maupun internasional untuk berkunjung ke Pamekasan, namun
infrastruktur dasar yang menunjang sector pariwisata masih jauh dari memadai.
Dalam konteks ini, kami memang concern
untuk memodernisasi Pamekasan dan segala aspeknya melalui perbaikan
infrastruktur.
- Penguatan Pemanfaatan
Teknologi
Di
era revolusi industri 4.0 seperti sekarang ini, penggunaan teknologi digital
wajib hukumnya. Karena itu, untuk mendukung modernisasi wisata halal di
Pamekasan, haram hukumnya di Pamekasan ada wilayah yang masih blank-spot (wilayah yang belum teraliri
akses listrik dan akses internet). Karena itu, dalam kaitan ini, kami juga
berkomitmen untuk menghadirkan akses internet sehat hingga ke seluruh sudut
wilayah Pamekasan.
- Pamekasan Pro Millenial
Harus
diakui, secara kultural, wilayah Madura masih mempunyai steriotape (pelabelan buruk) yang tidak mengenakkan di mata calon
wisatawan. Misalnya, Madura daerah yang rawan praktik carok, masih susah
diakses, “ndeso”, dan sebagainya. Karena itu, kita juga harus mengubah segala
stigma negative tersebut. Untuk mewujudkan pengarusutamaan wisata halal di
Pamekasan (dan Madura pada umumnya), kita harus membangun strategi komunikasi
publik yang menarik dan berwawasan milineal. Sehingga calon wisatawan (yang
didominasi kalangan milenial), akan tertarik untuk berkunjung ke Madura
(Pamekasan).
[1] Tripitono,
Adi Wibowo. 2013. Perencanaan Desa Wisata Berbasis Pembangunan Berkelanjutan.
Yogyakarta: Diandra Publishing
[2]
https://ekbis.sindonews.com/read/1231216/34/kontribusi-pertumbuhan-pariwisata-di-sektor-ekonomi-terbesar-dan-tercepat-1502940648
[3] Demartoto, Argyo
dan Rara Sugiarti. 2009. “Pengembangan Pariwisata untuk Menanggulang Kemiskinan
(Pro poor Tourism)”, dalam Pembangunan
Pariwisata Berbasis Masyarakat. Argyo Demartoto (Penyunting). Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
[4] Jaelani, Aan. 2017. Halal Tourism Industry in Indonesia: Potential and Prospects.
Online at https://mpra.ub.uni-muenchen.de/76237/MPRA Paper No. 76237, posted 17
January 2017 02:56 UTC
[5] https://venuemagz.com/event/potensi-besar-wisata-halal-di-jawa-timur/
[6] Terkait
tentang relijiusitas masyarakat Madura, dapat dilihat dari hasil kajian Syariffuddin
Mahmudsyah (2011),
dalam
http://www.lontarmadura.com/kepatuhan-dan-religiusitas-orang-madura-2/
[7] Lihat lebih lengkap pembahasan
mengenai hal ini dalam buku
“Disruption: Menghadapi Lawan-Lawan Tak
Kelihatan dalam Peradaban Uber” yang ditulis oleh Reynald Kasali (2017)
yang diterbitkan Gramedia Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar